Selasa, 29 September 2009

Menolong tanpa Simbol


Beberapa minggu terakhir, adalah minggu-minggu yang sulit bagi kami. Karena salah satu anggota keluarga besar kami sedang terbujur sakit di rumah sakit. Anemia Aplastic (mudah-mudahan saya benar menyebutkannya), membuat HB (hemoglobin) pada darahnya turun drastis menjadi 1,1 . Padahal ukuran standart HB yang ada pada manusia antara 10 - 12 (sekali lagi saya lupa apa satuannya). Keberadaanya sebenarnya sudah memburuk, saat kami ketahui sumsum tulang-nya tidak dapat bekerja secara normal. Sehingga pendarahan tanpa kontrol sering terjadi. Oleh karenanya, kami secara sporadis meminta bantuan kepada kawan-kawan yang kami kenal untuk membantu donor darah golongan darah B (keluarga saya itu golongan darahnya B).

Setelah 22 hari di opname di RSUD Ulin, tranfusi darahnya sudah mencapai 48 kantung. Ini belum dijumlahkan dengan tranfusi darah selama 7 bulan terakhir, karena selama itu Aisyah (begitu kami memanggilnya) sudah masuk rumah sakit sebanyak 4 kali. Hanya 2 minggu waktu yang dimilikinya beristirahat di rumah dan bermain dengan anaknya, sisanya Rumah Sakitlah yang menjadi istananya.

Abdullah, sang suami hanya bisa menunjukkan air muka sekeras karang. Tegar. Karena belahan hatinya tak kunjung sembuh. Saya, sebagai bagian dari keluarga besar ini tak mungkin tinggal diam.
"Dolah, aku kada bisa bantu duit. Aku hanya bisa carikan donor untuk bini ikam...".
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya ketika itu, dari bibirnya yang kering hanya terucap "ini gin, aku marasa sudah dibantu banar..."
Dia menyadari, ini adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan saat ini. Karena, untuk berharap kesembuhan total, Aisyah harus segera di operasi Sumsum Tulangnya di Jakarta atau Singapura. Sementara kondisi keuangan keluarga petani seperti kami tak memungkinkan untuk itu.

Saya sebenarnya merasa sangat beruntung, memiliki banyak kawan. Sebagian besar pendonor itu adalah rekan-rekan saya dari Hizbut Tahrir Kalsel, Gema Pembebasan IAIN, SUKMA, kemudian Radio Masa Fm, ada juga rekan-rekan dari KSR PMI Unlam. Beberapa nama di organisasi yang terakhir saya sebut, tidak pernah saya kenal. Tapi mereka mau membantu, tanpa pernah mempertimbangkan siapa saya, keluarga saya. Ini murni mereka lakukan karena kemanusiaan. Semoga Allah memberikan pahala yang besar kepada mereka. Amin.

Selama beberapa waktu berselang, kami mulai kehabisan stok pendonor. Beberapa di antaranya mudik lebaran. Dan ketika itu kami sangat kesulitan menemukan siapa yang bisa mengalirkan darah segarnya pada Aisyah. Kamipun menyebar sms ke beberapa kawan lain yang masih mungkin ada yang memiliki golongan darah yang sama. Walaupun hasilnya masih nihil.

Beruntung, waktu itu ada orang yang tak dikenal memberikan sumbangan darahnya. Kali ini jumlahnya cukup banyak. Senyum bahagia ditebarkan Abdullah, karena sehari sebelumnya pasien yang penyakitnya sama baru saja mendapatkan cobaan berat dari Allah. Anak yang telah dikandung selama 5 bulan harus dipanggil oleh Allah. Jasad bayi itu tak bisa dikeluarkan. Karena jika dilakukan operasi, akan terjadi pendarahan hebat pada sang ibu. Dan kemungkinan besar, jika darah tak tersedia, si ibupun bisa meninggal. Semakin kompleks saja, setelah beberapa hari, ternyata ada gangguan penglihatan yang terjadi pada ibu itu... Dalam kondisi seperti ini, memang berita kesedihan seperti ini sering terdengar di telinga Abdullah. Hanya kabar baik adanya pendonor untuk istrinyalah yang dapat membakar kabar negatif itu.


Allahuakbar...! Allahuakbar...! Allahuakbar...!

Allah memberikan pertolongan pada hambaNya dengan beragam cara. Abdullah, di kampung saya kenal sebagai pribadi yang bersahaja. Sebagai lulusan pesantren di Pamangkih, barabai, keshalehannya memang tak diragukan. Orangnya riang dan pandai menghibur di saat kondisi sedang kalut. Dan, tangannya tak pernah merasa berat, jika membantu orang lain. Tanpa pernah melihat, apakah simbol yang melekat pada orang lain. Keluargakah, rekan satu pengajiankah, atau orang yang tak dikenalkah? Dia tak pernah mempedulikan itu. Dan saat ini, tabungan energi yang dia simpan terbayarkan saat ini. Orang menolongnya, tanpa melihat simbol yang melekat padanya.

Abdullah bukan anggota Hizbut Tahrir, dia juga tidak pernah jadi Mahasiswa di IAIN apalagi masuk organisasi SUKMA, dia juga tak pernah kenal dengan sebutan Sahabat Masa Fm atau KSR PMI UNLAM. Meski kemudian dia menyesalkan, ternyata beberapa rekan seperguruan tak datang untuk membantu. Menjengukpun tidak.


***
Dua hari yang lalu, saya menerima salah satu forward sms dari seorang teman.
"salam. Mohon bantuan teman-teman yang memiliki golongan darah B, untuk mendonorkan darahnya malam ini. Keluarga ukht Ida (daritsah STKIP), sangat memerlukannya. Penyakit Anemia aplastic yang dideritanya membutuhkan darah dalam jumlah besar..."
Saya sempat terkejut. Kenapa ada sms bunyinya seperti itu. Ukht Ida, adalah adik saya... Tapi kemudian ada embel-embel Daaritsah STKIP. Sebutan Daaritsah itu bukan sekadar istilah untuk mahasiswa. Tapi itu istilah khas untuk peserta pengajian sebuah harokah Islam tertentu. Saya tidak mengerti, kenapa harus disebutkan Daaritsah segala. Bukankah tanpa tahu dia adalah anggota harokah tertentu, kitapun akan tetap membantu sebagai sesama muslim? Prasangka baik saya, ini hanya sebagai simbol pengenal saja.

Dulu, pernah ada beberapa kawan saya, dia anggota harokah tertentu. Ketika melangsungkan pernikahan tidak mendapatkan bantuan dari anggota lain. Seorang teman kemudian berkomentar: "beruntung ana adalah orang terkenal. kalau kada, mungkin mereka ada akan bantu...". Jadi, membantu hanya karena dia terkenal? Saya kurang tahu persis. Tapi sepertinya, kalau kita melihat pembebasan Manohara dan segala macam expose-nya membuat kenyataan ini tak terbantahkan. Manohara ditolong dan di expose habis-habisan, karena dia adalah selebritis yang menikah dengan Pangeran Kelantan. Sementara, yang tak terkenal? Sekiranya, saya tidak perlu menyebutkan siapa saja mereka. Tapi nasibnya sungguh mengenaskan.

***

Bagaimana pandangan anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar