Minggu, 27 September 2009

Berdamai dengan Lelah

Oleh: Hendra Madjid


Di kampung ini, kampung Mandalawangi, aku menginap selama tiga malam. Rumah pak Dullah, adalah rumah pembelajaran yang indah saat aku berada di sini. Aku yang tinggal di kota dan menjadi aktivis pergerakan Islam merasa padatnya kegiatanku belum ada yang bisa menandingi. Tapi, selama 3 hari ini, aku merasakan rendah di hadapan pak Dullah.

Tugas Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang diberikan kampus kali ini benar-benar tak hanya tugas. Di pagi yang buta, nyenyak tidurku harus dipangkas. Karena Istri pak Dullah dan istri sudah menyiapkan dagangan Nasi Kuning, lauk Masak Habang, Lontong dan kuahnya. Pagi ini juga, selepas shalat subuh, Bu Fatma akan berjualan di kios kecil di tengah kampung.

"Dik... Wudhu dulu, di belakang kami sudah siapkan air. Kalau mau mandi, nanti setelah subuh di sungai..."

Aku yang sudah terbiasa bangun untuk shalat Tahajjud memang tak heran lagi dengan permintaan pak Dullah. Tapi, ini benar-benar pagi yang berat. Karena tadi malam, aku baru bisa tertidur sekitar jam 1. Ini baru jam 02.30. Lelah mungkin masih menjangkiti badan dan mataku. Enggan rasanya bangkit saat ini, karena biasanya aku baru terbangun sekitar jam 4 pagi. Namun badanku yang terasa sangat berat ini memang harus berkompromi dengan keadaan. Apa kata dunia, seorang mahasiswa yang mengajarkan banyak hal ke masyarakat malah memberi contoh yang kurang baik.

Shalat subuh, dilaksanakan di masjid yang tak jauh dari rumah. Kebetulan subuh ini adalah subuh jumat. Bacaan fasih imamnya panjang dan diselingi dengan sujud as-sajjadah. Nikmat betul. Dan kenikmatan ini terus berlanjut hingga sang fajar betul-betul menampakkan wajahnya. Aku, Riduan dan Syaiful langsung membanjiri tubuh kami dengan keringat, karena membantu mengangkut barang dagangan pak Dullah.

Selama pagi ini, kami berdiskusi dan mendengarkan pertanyaan masyarakat soal peningkatan produksi pertanian mereka. Bagaimana melakukan tumpang sari, memilih bibit unggulan dan memanfaatkan sisa-sisa hasil pertanian. Beberapa di antaranya ada juga yang bertanya soal kredit usaha tani. Rata-rata mereka bersemangat.

Selepas Zuhur, kami kembali ke rumah pak Dullah. Sembari berdiskusi kesana-kemari, Pak Dullah mengajak kami menuju kebunnya. Disana, kami tak hanya melihat bagaimana kebun ini tertata sangat rapi, tapi membantu pak Dullah memotong ranting jeruk yang sudah mati. Sebelum maghrib, kamipun pulang.

Riuan dan Syaiful begitu lahap makan. Mungkin karena kelahan yang terlalu mereka langsung tidur, setelah shalat isya. Aku, yang juga lelah belum bisa tidur. Anak pak Dullah minta diajarkan matematika, sementara di luar, suara benturan kampak serta kayu yang terbelah demikian berwarna bersama simfoni alam.

Sekitar jam 10, anak-anak pak Dullah sudah tertidur pulas. Aku keluar, menemani pak Dullah sambil menikmati sulutan asap tembakau bercampur nikotin.

"Kada uyuh Mang...?" bukaku setengah berteriak

"Kada... Insya Allah..." Blek..., nafasnya tidak teratur. Sebenarnya sudah sangat terdengar lelah.

Tapi sepertinya inilah hidup. Orang-orang seperti pak Abdullah, harus berusaha sekuat tenaga agar bisa menyekolahkan anak-anaknya. Usaha yang beliau lakukan selama 12 tahun berumah tangga telah membuahkan hasil. Tak banyak orang kampung sini yang berfikiran maju seperti beliau. Disaat orang-orang begitu bangga menjadi karyawan pabrik kayu yang besar di kampung ini, beliau malah berupaya untuk mengembangkan pertanian di sini. Saya ingat dengan wejangan beliau "perusahaan bisa bangkrut, tapi selama kita memiliki tanah untuk bertani, kita akan bisa terus hidup". Dengan pola hidup yang sangat sederhana, ditambah kerja keras bersama istri beliau, 5 petak tanah yang tidak terlalu luas menjadi aset berharga mereka untuk menyuekolahkan anak. Dan, memang benar. Setelah Perusahaan Daya Kanuragan Maju Corporation bangkrut, hanya petani cerdas seperti beliaulah yang bertahan.

Mataku semakin berat, dan layar ponselku yang kulihat berkunang telah menunjukkan, saatnyalah untuk tidur. jam 03.23, aku terbangun. Aku lihat secara seksama lingkungan sekitar. Dan di luar sana, aku sudah menyaksikan tumpukan kayu bakar yang siap jual. Subhanallah...

***

Tiga hari aku di sini, nampak aktivitas pak Abdullah dan (mungkin) warga-warga yang lain sangat monoton. Tapi entah mengapa, mereka menikmatinya. Dari Mulut pak Abdullah, tak terdengar sedikitpun keluhan. Yang dia lakukan adalah berkarya, bekerjakeras untuk kehidupan yang lebih baik.

Saat kami berpamitan untuk pulang, Pak Dullah yang relijius itupun memberi bekal yang sangat berharga. "Dik, Setiap kita berjuang untuk mendapatkan cita-cita kita. Jika kelelahan menghampiri, ingatlah bahwa Allah telah menyediakan tempat istirahat terbaik untuk kita. Tempat itu bernama Syurga."

***

Kawan, dalam perjuangan meninggikan Izzul Islam wal Muslimin, sudah lelahkah kita? Jika kita
benar-benar merasa kelelahan, dan lelah bisa kita ajak untuk diskusi. Maka sudah saatnyalah kita berbincang dengannya. Bincang soal perdamaian. Agar, lelah tak datang saat kita produktif. Agar lelah, hanya akan datang, saat kita benar-benar memerlukan waktu untuk istirahat. Karena kita, akan beristirahat di syurga. AMin



Komentar:

Ini adalah cerita fiktif, terinspirasi dari kisah nyata. Jikapun ada nama yang serupa, itu adalah ketidaksengajaan yang memang dibuat-buat. Jangan pernah merasa sendirian kawan, karena kami juga menggapai cita, sembari bertarung dengan kelelahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar